Salam Sukses dan Sehat Selalu

Rabu, 06 Juli 2011

Mengenal lebih dekat tentang Ki Ageng Kalitan

Siapa sebenarnya Ki Ageng Kalitan?, untuk lebih jauh lagi mengenai seluk beluk tentang Ki Ageng Kalitan, kita lihat pemaparan di bawah ini.



Masa kecil
Ki  Ageng Kalitan dilahirkan pada 16 November  1956 dengan nama Mochamad Johaness Djuharlan di sebuah perkampungan di daerah Kabupaten Subang, Jawa Barat, dari ayahanda Almarhum Muhammad Yusuff Soehendy bin Ganda Perwenda (kelahiran tahun 1927) dan ibunda Almarhumah Raden Artesih binti Raden Karlan Mertadikara (kelahiran tahun 1933).
Lahir dari sebuah keluarga yang terkenal sangat disiplin, karena ayahanda beliau adalah seorang mantan pejuang yang masuk ke dalam pasukan Badan Keamanan Rakyat (BKR) pendudukan Jepang, yang kemudian beralih profesi menjadi kepala afdeling di sebuah perkebunan karet Manyingsal sebuah onderneming perusahaan P&T Land (Pamanukan and Tjiasem Land) yang merupakan warisan dari Inggris.
Karena ayahnya sering dipindah tugaskan ke beberapa daerah seperti  perkebunan karet Sukareja, Kasomalang,  perkebunan teh Sedep dan terakhir di perkebunan teh Ciater, maka sekolahnya pun sering berpindah-pindah.
Salahsatu Gerbang di Kediri
Pada tahun 1962 memasuki Sekolah Rakyat (SR) di Lengkong sebuah sekolah desa yang bertaraf bagus dengan gurunya yang bersertifikat.
Seperti kebiasaan anak kampung lainnya, ki Ageng kecil terbiasa bermain sepakbola dengan kostum kesayangannya bernomor punggung 9 (penyerang tengah) dan bermain layangan, sehingga badannya yang pendek bulat menjadi hitam legam karena sering terpapar terik matahari.
Menunggui huma (ladang) di daerah tumpangsari kebun karet sudah menjadi kebiasaanya, bermain kerajinan lempung di sungai bahkan main mobil-mobilan dari kulit jeruk bali atau bekas kaleng makanan sudah menjadi hobinya sejak kecil, juga membuat rumah-rumahan dari bekas potongan tegel memberikan keasyikan sendiri baginya.
Yang paling disenanginya adalah bermain biji karet dan tarung botol (membenturkan antar botol), soal berkelahi adalah kebiasaan masa kecil tak bisa dihindarinya, apalagi harus mempertahankan martabat keluarganya.
Ayahnya sering mengantarkannya menggunakan kuda tunggangan.  Setiap hari berjalan kaki menuju sekolah adalah tugas rutinnya yang berjarak 3 kilometer dari rumahnya, setiap hari berbekal nasi timbel (nasi dibungkus daun) yang dimakannya bersama teman di pertengahan jalan pualng sekolah di sebuah perkebunan karet yang masih terdapat bekas gundukan tanah persembunyian simpanan amunisi dan pesawat Jepang.
Selama bersekolah di Sekolah Rakyat (SR), yang kemudian menjadi Sekolah Dasar (SD) selalu memperoleh ranking 1 atau 2, sehingga akhirnya menjadi murid yang dipilih untuk mengikuti ujian pada saat duduk di kelas 5.
Pengajian sore di Madrasah Ibtidaiyah Alkhairiyah ditekuninya meskipun tidak bisa lancar membaca al-Qur’an bahkan tidak pernah bisa mengkhatamkannya sekalipun.  Menulis indah huruf Arab dan belajar percakapan Arab merupakan kesenangan dari dia, sayangnya tidak berhasil menjadi juara disaat mengikuti kejuaraan lomba adzan. Berpidato di kegiatan surau (langgar) merupakan salah satu yang sangat dia senangi meskipun hanya bisa hafal satu dua surat saja.
Tahun 1967 Memasuki Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 1 Kalijati dengan menaiki sepeda yang merupakan hadiah dari embahnya karena berhasil lulus ujian SD dengan nilai bagus, mengayuh sepeda sudah menjadi kebiasaan sehari-harinya, kalau kebetulan sepedanya bermasalah dia menumpang truk yang biasa mengangkut hasil perkebunan karet.
Kebiasaan main sepakbola masih digelutinya dan mendapat perlawanan yang cukup sengit dari anak-anak pangkalan (anak-anak Angkatan Udara Kalijati), yang sering berakhir dengan baku hantam, karena sering diejek sebagai anak kampung, tapi biasanya damai kembali.
Kerajinan membuat kaligrafi dari papan triplex merupakan hobi barunya, kalau mengikuti latihan baris berbaris di kegiatan kepramukaan selalu ingin menjadi pemimpin barisan.


Masa Remaja


Ketika lulus dari SMP di tahun 1970, embahnya menawari untuk melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertanian Menengah Atas (SPMA) di Sumedang.  Namun dia lebih memilih untuk melanjutkan ke SMA umum yang bisa memilih lanjutan berikutnya yang lebih leluasa, akhirnya diterima di SMA Negeri V/21 jalan Belitung 8 Bandung, meskipun harus berjuang untuk bisa menyisihkan pesaingnya yang nota bene anak sekolah kota, kebanggaan bagi dirinya bisa memasuki salah satu sekolah pavorit di kota Bandung, tinggal bersama keluarga besar Wiriadipoera di jalan Semar/Purabaya Bandung, meninggalkan semua kehidupan bersama keluarga langsung.


Dari rumah ke sekolah jaraknya sekitar 6 kilometer, dia lebih memilih jalan kaki  guna mengurangi biaya tambahan transportasi, sehingga dapat menabung lebih banyak untuk hobi elektronikanya, kalau hujan mengguyur kota Bandung, dia berusaha untuk mengajak temannya patungan naik becak.., kebetulan teman dekatnya tinggal di jalan Pandu.


Ketika mengikuti pelajaran di sekolah, dia memilih duduk di deretan bangku paling depan, meskipun teman sebangkunya itu wanita, biasanya kan kalau bukan pacar sendiri mereka malu, tapi dia pikir duduk di depan lebih konsentrasi mendengarkan uraian dari guru, daripada duduk di bangku belakang yang lebih sering terganggu dengan berisiknya teman sebelah.


Meskipun anak kampung, tak segan dia menantang berkelahi kalau merasa harga dirinya terusik, berkawan dengan anak dari Jakarta keturunan Arab, namanya Mustofa, sering belajar bersama, karena Mustofa termasuk anak pandai disekolahnya, dialah yang selalu membelanya kalau si Johaness ini mau berkelahi.  Selain itu, dia bergaul dengan anak pengusaha kaya asal Padang namanya Abdul Muis, tinggalnya di daerah Setiabudhi atas, sering menginap di rumahnya untuk melewatkan waktu-waktu liburnya, sangat jarang kembali ke kampung halamannya di Subang, mungkin hanya meluangkan satu atau dua hari saja di rumah orang tuanya ketika berhari lebaran.

Ketika SMA dia mulai menggunakan kembali nama panggilan Johaness, yang sudah lama ditanggalkannya sejak memasuki Sekolah Rakyat dulu, dia lebih banyak menggeluti peralatan elektroniknya ketimbang ikut ekstra kurikuler yang lain seperti Kijarsena (Kompi Pelajar Serba Guna) atau Bandung Karate Club (BKC), karena dia bercita-cita memasuki jenjang elektronika di perguruan tinggi nanti, meskipun dimulai dengan hanya sekedar hobi.

Johaness remaja ini karena merasa bukan keturunan orang kaya, dia menyibukkan malam Minggunya di rumah saja, tidak seperti kebiasaan anak remaja lainnya, siapa sih yang mau didekati sama anak orang miskin? pikirnya dia.., meskipun hati kecilnya ada sih perasaan ingin berkawan dengan cewek sebayanya, tapi dia kembali lagi pikir-pikir, masa sih ada
yang mau sama anak yang ke sekolahnya jalan kaki?, merokok juga dia tidak mau, karena uang buat beli rokoknya dapat dari mana?, biarlah merokok buat anak-anak orang kaya yang orang tuanya bisa membelikan untuk uang rokok.., kalau dia sih paling-paling jajan GS ( baca: ji es, Goreng Sampeu) dari penjual kaki lima di sekitaran Sentrum.


Tapi, dia juga ada hobi lain, paling seneng menyisihkan uang jajannya untuk nonton film di sekitar alun-alun Bandung, tetep ke bioskopnya bolak-balik jalan kaki, dulu belum ada yang namanya angkutan kota, paling-paling juga becak..

Untuk kehidupan Ki Ageng Kalitan di masa selanjutnya, bisa dilihat di tulisan-tulisan berikutnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

END

Entri Populer: